Pupus Tak Bernoda


            "Sudah lama aku tidak bertemu denganmu, Win" Katanya dengan mata tajam kearahku.
            Aku yang berdiri disampingnya hanya menatap lurus ke depan dan memperhatikan tingkah teman-teman kelasku yang sedang asik bercanda gurau.

         "Kau cukup membuatku terkejut, Ri" Ucapku sembari menepis tangannya dari pundakku.
        "Terkejut?.." Dia menatapku penasaran dengan senyum yang menyungging

        Aku berjalan ke depan melewati celah-celah kursi yang berantakan karena polah teman-temanku ini dengan tangan yang mengepal. "Iya, Matamu.. senyummu.. berbeda dari sebelumnya. Setelah bertahun-tahun aku tidak melihatmu, penampilanmu sungguh mengejutkan"
         "Apa kamu mengejekku, Win?" Diapun berjalan mengikutiku dengan tangan dikedua sakunya.
          "Tidak sama sekali.. Kau sudah dewasa. Kau yang seharusnya duduk di bangku SMA. Kenyataannya, kau sudah mencicipi bangku kuliah. Semua dari dirimu sudah berbeda sekarang."
          Aku pun duduk di bangkuku dan memakai kacamataku. Ku benahkan rambutku dan kutata ulang ikatan rambutku.
          "Tidak, Win. Tidak semua..Perasaanku kepadamu masih sama seperti dulu. Aku masih sayang terhadapmu. Selama ini, hanya kamulah yang ada di benakku" dia menggenggam tanganku yang ada diatas meja, Namun, Aku menepisnya.
          "Sayang? Apa dengan pergi meninggalkanku yang kau maksud dengan sayang? Apa dengan tak menorehkan wajahmu kearahku yang kau maksud dengan sayang?Ataukah dengan mencampakkanku itu yg kau sebut sayang? Sungguh, aku tidak mengerti dirimu.."
           Kali ini kupaksakan mataku menatap matanya. Tanpa kusadari air mataku ini terjatuh dan membuat kenangan-kenangan masa lalu terbayang dikepalaku. Kenangan dimasa kami masih saling menjaga, perasaaan saling menyayangi hingga membuat orang iri terhadap kedekatan kami. Teman disekitarku pun menatapku dengan kebingungan. Tak sedikit diantara mereka yang saling berbisik tentang diriku.
           "Aku mengerti aku salah... Seharusnya aku tidak mengikuti program percepatan itu, kan? Seharusnya aku selalu berada setingkat dengan dirimu, bukan? Itukan yang kamu mau dariku?" Gertaknya dengan mata yang memerah.
           "Bukan itu yang ku maksud.."
            "Lalu  apa? Apakah ini dirimu yang sebenarnya, Win? Selalu menghalangi seseorang mencapai apa yang dia mau?"
           Kali ini, apa yang diucapnya sungguh membuatku marah. Dengan reflek, aku memukul mejaku ini dengan keras.
            "Jaga ucapanmu itu, Ri! Aku sama sekali tidak ingin menghalangimu untuk mencapai apa yang kau mau!"
            "Lalu apa? Katakan! Biarkan aku mendengarnya... " Dia berteriak kepadaku dan meremas pundakku dengan kuat hingga aku dapat merasakan sakitnya.

            ".... Kau pergi begitu saja tanpa berpamitan denganku, kau bahkan tak menelefonku sama sekali selama kau disana. Kau pun tidak membalas segala email, surat, dan pesan yang kukirim kepadamu. Ada apa dengan dirimu? Apa aku sudah tak berarti bagimu? Dimana Rico yang kukenal selama ini?"
            Diapun melepaskan pundakku dari cengkramannya.
             "Apa itu sangat sulit bagimu? Bahkan hanya berkata hai kepadaku.. Apa itu sulit? Bagiku, sekarang kau hanyalah bagian dari masa lalu ku, Rico. Kaulah yang terbaik dalam segalanya.. Membuatku melayang dan membuatku terjatuh sekaligus. Bersamamu, aku belajar banyak hal tentang cinta."Kulihat suasana kelas menjadi panas. Segala gunjingan tentang diriku pun semakin terdengar keras di telingaku. Pertanyaan-pertanyaan aneh pun mulai terngiang dikepalaku.
             "Apa kau tau? Cinta itu seperti tumbuhan, Ric. Menanam adalah hal yang mudah. Tetapi, merawatnya untuk tetap utuh dan indah adalah hal yang sulit. Jika kita tidak menyirami dan memupuknya untuk tetap subur... Tumbuhan itu akan sakit dan akhirnya mati. Dan sudah saatnya untuk membuang tanaman itu dan menggantinya dengan yang baru. Itulah yang sedang kurasakan, Ric"
          Mataku tak mampu lagi menatapnya hingga kuputuskan untuk kembali duduk dan menarik nafasku dalam-dalam.
               "Win, dengar... aku benar-benar minta maaf. Aku menyesal, Win. Aku.. aku berjanji padamu, tak akan lagi aku membuat mu terluka. Kalau perlu, aku akan menghidupkan kembali tumbuhan itu bagaimanapun caranya... Kau lah segalanya bagiku"
              "Maaf... Ric. Kita jalani hidup kita masing-masing mulai dari sekarang. Biarkan masa lalu kita menjadi kenangan indah yang dibingkai pada tembok putih tak bernoda. Biarkan kenangan itu begitu adanya. Jangan ada kebencian dan amarah yang dapat membuat kenangan kita rusak setelah ini. Terimakasih untuk masa-masa indah yang telah kita lalui bersama. "
              Lalu, kudengar suara sosok laki-laki dengan senyum lebar di bibirnya memanggil namaku dari pintu kelas. Tatapannya sungguh membuat perasaanku nyaman. Senyuman yang merekah dari bibirnya itulah yang selalu menghamburkan segala kesedihanku. Seorang lelaki yang selalu merengkuh ketika ku terjatuh. Bersamanya, aku ingin tumbuh menjadi tumbuhan yang indah hingga ku tua nanti.
            "Win, Ayo. Sudah saatnya untuk pergi."

Comments

Popular Posts