Butterfly Dreamer Story [PART 2]
~BD~
Pukul 4 pagi-pagi buta, aku sudah bersiap dengan membawa
satu tas koper sedang dan tas punggung kecil. Aku mencoba berpenampilan sebaik
mungkin karena aku akan ke Tokyo!!! Setelah sekian lama menunggu,
akhirnya….semua ini terwujud juga…. Aku sudah berjanji pada ibu dan aku akan
menepatinya. Diluar rumah, beberapa tetangga dengan sangat baik hati turut
menghantarku sampai ke gerbang luar desa bersama ibu juga.
“Kau
harus bahagia disana, dan jangan pernah lupakan ibu,”
“Ibu
sudah mengatakan itu 20 kali selama 3 jam ini.” Jawabku singkat seraya terus
berjalan. Walaupun ibu terlihat sudah merelakanku pergi, sinar matanya masih
redup. Sebenarnya dengan sembunyi-sembunyi, kemarin malam aku menitipkan pesan
kepada para tetanggaku untuk selalu menjaga dan menghibur ibu selama aku di
kota. Aku yakin dengan bantuan mereka semua, beban ibu akan berkurang. Aku
menggandeng tangan ibu dan menggenggamnya dengan erat. Aku selalu berkata dalam
hati kalau aku harus bisa membahagiakan wanita tua ini apapun caranya. Rasa
bersalah menjadi anak pembangkang selama ini membuatku merasa harus menebusnya
suatu hari. Dan aku rasa hari ini hari yang tepat.
Diujung
desa, suara hewan-hewan malam masih memenuhi perjalanan. Kami semua yang
mungkin bertotal 10 orang berjalan sambil bercengkrama. Di ujung sana, aku
sudah membuat janji dengan Kei, teman kecilku. Ia berjanji akan menghantarku
sampai ke stasiun dengan mobil pribadinya. Kei mungkin juga adalah salah satu
contoh orang dari desa kami yang sukses di kota. Yah, walaupun sebenarnya sama
sekali tidak ada yang tahu apa pekerjaannya disana. Akhir-akhir ini ia sering
pulang ke desa dan memberi semangat kepada anak muda di desa agar berusaha
pergi ke kota demi kesejahteraan. Aku mungkin salah satu dari anak muda yang
terpengaruh dengan ajakannya.
“Wah
wah, Chi-chan, kenapa harus dihantar keluarga besar begini?” Tanya Kei dengan
tangan terlipat di dada dan badan menyandar di sisi mobilnya. Penampilannya
dulu dan sekarang sudah sangat berubah, dan aku yakin esok aku akan menjadi
lebih baik darinya. Setidaknya aku harap sikapku tidak berubah menjadi angkuh
sepertinya saat ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku berhutang budi padanya karena
mau menghantarku sampai ke stasiun yang lumayan jauh.
“Hei,
kau, jangan sampai kau melukai anakku satu-satunya ini atau akan kupatahkan
lehermu dengan cangkul! Dasar angkuh,”
“Sudahlah
ibu,” aku mencoba menenangkan ibu yang tersulut emosi karena tingkah laku Kei
yang menyebalkan. “Kei, ayo berangkat.”
“Ohiya
iya…. Kenapa kau sangat tidak sabar?”
Ia
segera masuk ke mobil dibelakang kemudi. Sebelum aku menyusulnya masuk,
kupandangi satu persatu warga desa itu, dan ibu tentunya. Aku tidak menyangka
aku merasakan hal ini setelah sekian lama. Aku membungkuk pada mereka untuk
memberi hormat sebelum perjalanan panjangku ini. Air mata yang dingin tersapu
udara pagi buta mengalir pelan dari mataku yang pedih. Setelah kutegakkan lagi
badanku, memandang mereka semua terasa seperti mimpi.
“Sudah
sana kau pergi, kau terlalu lama memandang kami! Apa kau mau pergi tahun
depan?!”
“Ah..iya
maaf,” aku memandang wajah makhluk itu dengan sebal. Ah, dasar Nami. Dia
terlihat sebal sekali melihatku. Lihat saja kalau aku kembali dari desa esok,
aku akan menari-nari didepanmu. Bagaimana bisa perempuan sepertinya bersikap
dingin seperti itu padaku yang akan segera meninggalkan desa ini? Payah.
“Aku
berangkat! Sampai ketemu kalian semua!” sorakku dari dalam mobil seraya melambaikan
tangan keluar jendela kepada mereka semua. Dan seperti yang aku harapkan,
mereka membalas lambaian tanganku dengan dengan sangat hormat. Dan ibu, aku
tahu ia menangis, Nami, dia hanya membuang muka. Ah, kenapa aku bisa menyukai
gadis seperti itu?
“Chi-chan,
apa kau sudah membuat daftar tentang apa yang akan kau lakukan disana?” Tanya
Kei sembari menyetir dengan tenang. Sudah berjalan sekitar setengah jam dari
desa. Aku sangat menikmati pemandangan pagi diluar desa dari jendela mobil
bagus ini. Dan menyadari pertanyaan Kei, aku segera mengeluarkan sebuah notebook kecil dari tas punggungku.
Kemarin aku sudah mnulis semua jadwal disini. Mulai dari sampai di stasiun,
sarapan, dan lainnya.
“Oh
yah, aku rasa aku sudah menulis semuanya. Termasuk alamat agensi yang akan
kutuju nantinya. Memangnya ada apa?”
“Tidak.
Hanya saja, apa kau yakin akan pergi ke sebuah audisi mencari bintang rock
dengan baju sesederhana itu? Apa kau tidak butuh aksesoris untuk membuatmu
menonjol?”
Ah, aku
tidak memikirkan tentang hal itu sebelumnya. Ini kan audisi, apa penampilan
juga sudah harus menyerupai bintang besar? Hanya saja, aku ingin terlihat
normal seperti ini. Aku rasa memakai kaos sweater, jaket hitam, dan slayer
sepadan sudah cukup tampak seperti orang kota kan? Aku juga pakai celana jeans
yang keren.
“Tapi
Kei, apa dandananku belum cukup tampak seperti orang kota? Apa ini belum cukup?
Atau, malah terlihat aneh bagi orang kota?”
Kei
menatapku tanpa ekspresi dari kaca spion. “Kau sudah tampak sewajarnya sebagai
anak kota dengan dandananmu yang seperti itu. Tapi coba ingatlah, kau akan
masuk audisi bintang J-Rock. Dan bintang J-Rock tidak pernah tampil sewajarnya
seperti orang normal. Mereka seperti orang sakit jiwa. Apa kau belum pernah
melihat cara mereka berdandan di televisi?”
“Aku
tahu, aku selalu melihat mereka di televisi, tapi aku tidak habis pikir, kenapa
peserta audisi sudah harus memakai dandanan semacam itu? Kalau mereka diterima
sih boleh saja, tapi kalau gagal? Bukannya itu memalukan? Pakai make up tebal
seperti badut yang gagal audisi dan terbuang,”
“Hahahah, ada-ada saja kau ini.
Ya sudahlah, nanti juga pasti akan kau lihat ditempat audisi itu, bagaimana
anehnya para peserta, dan mungkin kau yang paling aneh karena tiak berdandan
seperti mereka.”
Aku
hanya memandangi Kei dengan wajah tak tahu apa-apa. Aku mengangkat bahu tanda
berpasrah saja. Kei mungkin memang tahu lebih banyak dari yang aku bayangkan,
jadi lebih baik aku mendengarkan seperlunya saja sebagai pedoman selama di
kota. Lagipula aku akan sendirian disana. Tidak akan ada orang-orang yang aku
kenal disana seperti di desa. Hah, aku mungkin belum menyiapkan hatiku seratus
persen untuk hal itu.
“Ingat,
Chi-chan. Orang kota tidak suka dibantah. Tujuanmu bisa hancur kalau kau
membantah aturan yang sudah mereka buat. Dan orang kota punya aturan tersendiri
untuk sukses.”
“Aturan?”
aku hanya mengangguk tanda mengerti. Benar juga kalau dipikir kembali. Ahh, ini
terasa semakin berat saja, otakku mungkin sudah jadi seciut upil sekarang. Aku
menyandarkan badan ke kursi mobil dan mencoba bersantai. Pasti semua berjalan
sesuai dengan yang aku rencanakan.
“Ini,
kau tidak akan bisa hidup tanpa ini di kota. Sudah lengkap semua dan tinggal
diapakai saja, ada nomor ponselku disana. Baca buku panduannya selama
perjalanan dan pelajari itu.” Kata Kei seraya melemparkan sebuah kotak sedang
kepadaku yang sedang duduk bersandar di belakangnya. Tidak terlalu berat, tapi
apa ini?
“Hah,
sebuah ponsel terbaru!? Kau gila?!” aku berteriak kaget setelah membuka isi kotak
itu. Dan ternyata sebuah ponsel terbaru yang cukup besar dan elegan. Disana ada
buku panduan yang harus kubaca, sungguh tebal. Aku bisa gila dengan teknologi
ini!! Ini seperti penjajahan alien mendadak!!
“Kenapa
kau ini? Aku kaya, dan aku bisa memberi apa yang kau mau, sudah pelajari sana.
Kan kau anak yang cerdas, aku yakin kau bisa fasih menggunakannya dalam waktu
singkat.”
“Ahh,
aku tidak tahu harus melakukan apa untuk membalasnya.”
“Suatu
saat nanti aku akan menagihnya hahaha,”
A-apa? Dasar
orang aneh. Apanya yang lucu? Aku harus membaca semua ini dan masih bingung
dengan apa yang harus aku lakukan untuk berbalas budi, dan dia malah berkata
seperti itu sambil tertawa? Dia kekurangan pasokan humor yang lucu dalam
hidupnya. Aku terus bergumam dalam hati sembari memegang buku panduan di tangan
kiriku, dan ponsel di tangan kananku. Yosh!!! Aku pasti bisa…
Tik tok tik tok……
“Kei?”
“Hmm?”
“Sebenarnya
ponsel ini aneh karena bagian belakang dan depannya terlihat sama. Bagaimana
cara membedakannya?”
Wooooosshhhhhhhhh……~
“Ahh,
kau tidak tahu?! Lihat gambar di kotaknya dong,”
“Gambar
di kotaknya ada dua dan katanya sisi depan dan belakang, tapi itu sama
persis!!”
“Ah kau
ini. Pencet saja tombol kecil di samping, dan sisi yang menyala adalah layar!”
Aku
segera melakukan apa yang Kei katakan… dan, “Wooah, aku menemukannya!” sorakku
senang. Aku segera mengambil stiker hias yang ada di dalam kotak itu untuk
menandai layarnya. Aku menempel stiker bergambar kupu-kupu kecil berwarma putih
itu disudut layar. Yap, sudah haha. Aku malu.. aku menutup mukaku dengan kedua
tanganku. Ah, sebenarnya berapa lama lagi sih sampai ke stasiun?
“Kei,
apa stasiun masih jauh?” tanyaku seraya mencondongkan badan. Setahuku stasiun
terdekat dari desa tidak sampai memakan waktu 2 jam perjalanan. Tapi kenapa
bisa selama ini? Kei menatapku dari spion. Wajahnya wang putih dan tampan
tampak melemparkan senyuman manis. Apa ini? Dia gila?
“Ah,
maaf maaf haha. Kemarin aku cemas sekali saat memikirkan kalau kau mau ke kota
sendirian. Dan setelah dipikir-pikir, kenapa kau harus sendirian selagi aku
juga akan kembali ke kota?”
“Hah?
Jadi, kau mencoba berkata kalau akan menghantarku sampai ke Tokyo?” aku jadi
semakin merasa tidak enak padanya karena sudah menumpang sejauh ini di mobilnya.
Aku tidak terbiasa seperti ini. Tapi, lumayan juga sih, aku tidak harus keluar
uang lagi haha. Aku tersenyum sinis (dalam hati) (ditekankan DALAM HATI)
menanggapinya. Memang terasa sungkan, tapi ternyata menguntungkan juga.
“Sou,
Chi-chan, orang-orang di kota tidak mengenalku dengan nama Kei Matsuhita. Tapi
mereka lebih mengenalku dengan nama Tsubaki. Dan,” tiba-tiba ia berhenti
sejenak dari kalimatnya. Dan tepat saat itu lampu merah menyala dan mobil harus
berhenti. Kei membalikkan badannya dan menatapku, “Kau boleh saja mengenalkanku
kepada siapapun demi ketenaranmu.” Tatapan matanya dalam. Seperti ada makna
lain dibalik kalimat itu, tapi aku tidak bisa menemukannya. Ia seperti
merencanakan sesuatu. Apa..apa orang kota memang seperti ini? Sebenarnya, apa
Kei ada di pihakku?
“A-apa?
Demi ketenaranku? A-apa maksudmu?” aku memundurkan badan agar lebih menjauh
darinya. Entah kenapa, rasanya, ini adalah lampu merah paling lama yang pernah
aku rasakan. Aku merasa terancam, kalau Kei yang sudah kukenal saja bisa
bersikap asing seperti ini, lalu apalagi dengan orang kota yang benar-benar
asing untukku? Kei tetap pada posisinya menatapku dengan tatapan yang asing. Ia
seperti bukan Kei yang aku kenal, Kei yang ramah dan tampan. Ia sekarang tampak
seperti burung kakaktua…..ah..bukan…seperti burung hantu…mungkin.. (sekarang
Kei jadi sebangsa burung) tatapan matanya mengerikan.
“Haha,
kenapa kau ketakutan begitu?” ia tertawa ringan seraya menyentuh pelan
hidungku. Lalu tak lama kemudian, lampu hijau terang tampak menyala menyorotiku
dari jendela. Aku tetap terdiam. Tiba-tiba saja niatku pergi ke kota sirna.
Aku….ingin pulang… ah tidak, ini belum dimulai. Aku berusaha tenang dan rileks.
Dan kei kembali melirikku dari spionnya, “Kau bertanya apa maksudku tadi? Berapa
lama kau harus belajar kalau orang kota punya cara mereka sendiri untuk sukses?
Dan mungkin dengan mengenalkan dirimu sebagai temanku mungkin bisa menambah
ketenaranmu suatu saat. Tapi terserah saja kalau kau tidak percaya. Aku hanya
mencoba membantu.”
“Ti-tidak..bukan
maksudku tidak percaya padamu Kei-chan. Hanya saja memang aku belum paham
dengan cara pikirmu yang baru sebagai orang kota. Aku pikir otakku yang kelas
kentang ini cukup sulit untuk beradaptasi dengan semua ini.”
Kulirik
jam tanganku, dan ini sudah pukul 7 pagi. 2 jam lagi audisi akan dimulai.
Jantungku mulai berdebar kencang disertai beribu pikiran negatif yang mungkin
bisa saja menimpa diriku. Bagaimana jika nanti aku tampak aneh? Bagaimana kalau
aku memalukan? Bagaimana kalau nanti aku tidak lolos? Aku tidak bisa membiarkan
ibu dan para tetanggaku di desa…dan Nami, melihat band yang kutuju hadir dengan
vokalis lain. Dan bukan aku, seperti yang mereka harapkan. Aku tidak mau pulang
ke desa dengan membawa harapan kosong atau dengan pekerjaan lain. Apalagi bila
pekerjaan lain itu tidak sepantas apa yang kutuju saat ini. Apa…yang harus
kulakukan?
~BD~
to be continue.....
Comments
Post a Comment