Butterfly Dreamer Story [PART 1]
DIV Fan Fiction
Cast : ~Chitose Tsukasa (Chisa DIV)
~ Nagai Kuroma (Shogo DIV)
~ Jin Haruhi (Chobi DIV)
~ Sato Takuma (Satoshi DIV)
Let's start the PART 1 :
Suara serangga musim panas benar-benar sudah memenuhi
kepalaku. Bagaimana bisa semua orang di prefektur ini tahan mendengarnya setiap
tahun? Terlihat juga beberapa anak kecil yang berlarian dengan membawa jarring
penangkap serangga. Ah, paling juga mereka hanya akan mendapat capung kecil,
kupu-kupu, atau mungkin mereka hanya akan berhenti di sungai untuk menangkap
belut. Sangat membosankan, aku sudah melalui itu semua sekitar 15 tahun yang
lalu. Sekarang aku sudah 17 tahun, dan itu bukan masaku lagi. Aku, harus keluar
dari prefektur ini.
Aku
selalu tertegun saat melihat lampu-lampu yang berkedip indah di Tokyo. Memang
aku belum melihatnya secara langsung, tapi itu semua terlihat sangat
mengesankan di televisi. Dan semua toko-toko yang berderet, mesin penjual
otomatis, selebriti ternama dimana-mana, banyak orang yang memakai masker, dan
yang lainnya. Mereka selalu pulang larut malam ditengah kota terang benderang
penuh lampu-lampu yang berkelip indah, duduk tenang dengan kaki menyilang,
menikmati segelas latte atau cake manis. Tak masalah mau sendiri,
bersama pasangan, atau bersama banyak teman. Mereka tetap terlihat keren.
Mereka
memakai baju yang benar-benar indah, dan bermerek! Riasan yang mewah dan selalu
membuat wajah mereka terlihat segar. Tampan dan cantik. Kaya dan mempesona.
Tentu itu semua sangat berbeda dengan perfektur tempatku dilahirkan sekaligus
tinggal selama ini. Disini ada sawah, bukit, sungai, pemandian, toko kelontong,
sekolah, taman, dan hutan. Tidak ada orang yang bermasker, tentu karena
orang-orang disini akan mengira kita berpenyakit bila memakai masker. Baju-bajuku
dibeli dari toko serba ada atau toko kelontong. Aku hanya bermodalkan radio
kecil dan televisi di rumah. Tidak ada yang lain lagi.
“Chitose,
mau sampai kapan kau melamun di situ? Apa kau tidak tahu ibumu sedang bekerja
keras, disaat libur seperti ini seharusnya kau memanfaatkan tenagamu untuk hal
yang positif! Sebagai laki-laki kau harus bisa meringankan beban keluargamu!
Kemari dan bantu ibu!” ocehan itu terdengar sangat keras memecahkan lamunanku.
Bagaimana bisa wanita tua itu berteriak begitu kencangnya?
“Ah,
ibu. Ibu selalu mengatakan hal yang sama setiap hari. Aku bosan bu,” kataku
lemas seraya membantunya mengangkat beberapa kardus besar berisi kentang hasil
panen. Kabarnya ada pemborong dari desa sebelah yang menginginkan
kentang-kentang ini dijadikan keripik. Baguslah, setidaknya ada penghasilan
bagi wanita tua ini agar ia tidak terus mengomel karena kehabisan uang.
“Kalau
kau tidak mau ibu terus mengulang perkataan yang sama, ubahlah sikapmu.” Ia
berhenti bekerja dan memegang pundakku dengan kedua tangannya yang masih
memakai sarung tangan kotor karena tanah disaat memanen tadi. “Kau, anak ibu
yang paling tampan, kau harapan ibu. Tidak ada yang lain lagi. Kalau kau tidak
punya semangat untuk menjalani hal kecil, maka kau tidak akan pernah siap untuk
menjalani hal yang lebih berat. Percayalah pada ibu, ibu tidak pernah ingin
menjerumuskanmu kedalam hal buruk. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu, nak.
Percayalah,” ia menepuk pundakku dengan lembut dan memegang wajahku. Wajahnya
yang sudah dipenuhi kerutan dan keringat nampak tersenyum bangga.
Aku
segera mengalihkan pandanganku darinya, aku tentu tidak mau ia melihatku
menitikkan air mata. Rahangku mengeras, aku benar-benar tidak ingin menangis
untuk saat ini. Kumohon menyingkirlah. Ia nampak sedikit terkejut saat aku
memalingkan wajahku, tapi aku yakin ia paham dengan apa yang aku rasakan saat
ini. Ia tentu paham betul dengan apa yang selama ini aku lamunkan, dengan apa
yang selalu aku pikirkan, dan apa yang selalu aku nyanyikan. Ia melepaskan
tangannya dari wajah dan pundakku dengan lemas. Namun semyum masih saja
menghiasi wajah tuanya.
“Sudahlah
ibu, mari kita selesaikan pekerjaan ini dan aku akan memijat kaki ibu
setelahnya.” Jawabku seraya memaksakan senyum. Aku ingin sekali membuatnya
bahagia, namun sepertinya sama sekali tidak terpikirkan olehnya untuk
melepaskan aku ke kota. Aku anak semata wayang kesayangannya, dan ia selalu
berharap yang terbaik untukku. Namun bagaimana jadinya kalau yang terbaik itu
ada diluar prefektur ini? Apa ia akan rela melepaskanku demi kebahagiaan anak
semata wayangnya? Mungkin ia lebih suka aku aman disini daripada harus
melepaskanku di kota yang kejam. Mengingat ayahku yang juga hilang entah kemana
di perantauan, ia juga pasti akan melarangku demi alasan perasaannya sebagai
seorang janda. Perasaan dilema terus saja memenuhi hatiku seharian ini. Aku
harus mencari cara, entah kapan itu akan terjadi, tapi aku harus keluar.
“Disaat
kicau burung tertutup kerasnya guntur, perasaanku padamu tak akan luntur
seiring berjalannya waktu…… hanya kau…. Kasih dan cintaku tersimpan…”
“Chitose,
suaramu benar-benar indah. Benar-benar jernih dan manis. Ibu berharap selalu
bisa mendengarkan suaramu disetiap waktu.” Puji wanita tua itu seraya
tersenyum. Matanya menatap langit-langit rumah kami yang redup. Aku menatapnya
sayu seraya terus memijat kakinya yang kurus.
“ibu,
dengarkan ini…” aku mengarahkan radio kecilku ke dekatnya dan menambah volume
suaranya agar bisa jelas terdengar oleh kami berdua. Jantungku berdegup
kencang, bagaimana reaksinya nanti? Aku sudah mempersiapkan hari ini selama 2
tahun. Bagaimanapun jawabannya, aku harus segera mengambil tindakan.
“…kami
memang merasa sangat kehilangan Meji, tapi kami yakin dengan dibukanya
pendaftaran bagi personil baru ini, kami akan menemukan pengganti yang pantas
bagi Blue Stream. Pendaftaran akan dibuka besok tepat pada pukul 9 pagi di
alamat agensi kami. Semua calon akan diseleksi secara resmi dan kemudian
diadakan training pra debut selama 9 bulan. Setelah semua itu berakhir, Blue
Stream akan resmi melakukan re-comeback dengan single baru dan lama yang akan dinyanyikan
oleh sang vokalis baru. Sebelumnya kami mengucapkan terima……”
Tiba-tiba
ibu mengecilkan volume suara radio kecil itu dan menjauhkannya. Ia memandangku
dengan bersungguh-sungguh. Hatiku merasa tidak karuan. Keringat mulai mengucur
deras.
“Apa yang sebenarnya ingin kau
katakan pada ibu? Apa maksud semua pembicaraan tadi?” ia benar-benar terlihat
menakutkan saat ini. Walaupun aku adalah laki-laki yang sudah terhitung dewasa,
aku tidak pernah berani pada ibu. Terutama saat ia mulai memukulku dengan rotan
dan sebagainya. Dan mungkin kali ini ia akan melakukan hal yang sama kepadaku.
“i-ibu,
kota mungkin jalan satu-satunya….”
“Jalan
untuk apa?! Ibu lebih suka kau bekerja keras dan menjadi orang sukses di desa
ini dengan banyak pabrik menyewa tanahmu, apa kau merasa ibu terlalu
berlebihan?! Apa kau tidak memikirkan perasaan ibu dan selalu memikirkan
keinginanmu saja? Tentang lampu yang berkedip, toko, perhiasan, ketenaran?!
Semua rasa iri dan egois akan segera menguasai dirimu!” ia membentakku dengan
keras. Terdengar juga isakan tangis mengiringi teriakkannya. Aku, sama sekali
tidak berani menatapnya. Aku terus menunduk dan menunggu pukulan menghapiri
punggung atau kepalaku karena kemarahannya.
Setelah
beberapa menit berlalu, ternyata tidak terjadi apa-apa kecuali isakan tangisnya
yang keras. Ia ternyata benar-benar tidak ingin aku meninggalkan desa ini, dan
meninggalkan dirinya bahkan kalau itu memang untuk kebahagiannya. Ia pasti juga
tertekan karena mengingat ayah. Ia selalu menyesal karena mengijinkan ayah
untuk merantau dulu. Dan tentu, dalam benaknya, ia tidak ingin melakukan
kesalahan yang kedua kalinya. Tiba-tiba ia memelukku dengan erat seraya terus
menangis.
“Ibu,
tidak mau kehilangan dirimu, anakku. Ibu sangat menyayangimu. Ibu ingin kau
ba….”
“Ibu
ingin aku bahagia kan?” ucapku memotong perkataannya. Ia sedikit tersentak,
namun tetap memelukku erat.
“Kalau
begitu, biarkan aku bahagia. Dan aku berjanji ibu akan bahagia juga seperti apa
yang aku rasakan. Aku bersumpah akan terus berusaha untuk membuat kita berdua
bahagia, bu. Namun tempatnya, bukan disini.” Sungguh kejam. Aku tahu itu
kalimat yang tidak pantas dilontarkan seorang anak pada ibunya, namun apa boleh
buat. Aku harus melakukannya.
“Mungkin
ibu memang egois nak, namun berjanjilah pada ibu kalau kau akan kembali ke
pelukan ibu setelah kau bahagia disana. Jangan pernah tinggalkan ibu,
berjanjilah nak.”
“Aku,
bersumpah.”
~BD~
to be continue...
Comments
Post a Comment